Langsung ke konten utama

CERPEN: PHOBIA KOPI



PHOBIA KOPI
Karya: Siti Nur Apriyani

Pagi ini langit begitu biru dan awan begitu putih, tampak serasi. Aku terus memandang dan mengaguminya sambil sesekali menyeruput segelas milkshake vanila yang hampir habis. Lima belas menit sudah Aku menunggu disini, tapi bus yang kutunggu tak kunjung datang. Untuk menghilangkan rasa bosanku, Aku berselancar di dunia maya membuka media social yang sudah menjadi suatu kebiasaan. Aku membuka satu per satu, memeriksa pemberitahuan yang masuk, tapi isi pemberitahuannya sama saja, tidak ada yang menarik. Aku membuka email hanya ada beberapa email masuk, semuanya mengenai tugas sekolah. Aku mengangkat kepala dan ada seorang pria berdiri membelakangiku. Aku terlalu larut dengan gadgetku sehingga tidak menyadari kedatangannya. Sekilas Aku memperhatikan tampilan belakangnya. Pria itu mengenakan jaket hitam dan celana jeans. Tangan kanannya membawa kantung berwarna coklat.
Bus yang kutunggu telah tiba. Aku berdiri dibelakang pria asing itu. Tubuhnya yang tinggi dan besar menutupi seluruh tubuhku. Pria itu melangkah menuju pintu bus dan Aku mengikutinya di belakang.
Pagi ini semua bangku di dalam bus sudah terisi penuh. Banyak orang berdiri berdesak-desakkan termasuk Aku dan pria tadi. Aku berdiri tepat disampingnya sambil memegang pegangan tangan bus. Dengan jarak sedekat ini, Aku dapat menghirup aroma kayu-kayuan yang sangat menggelitik hidungku. Secara diam-diam Aku mengamatinya, kulit wajah putih dan bersih, alis tebal, bulu mata panjang, mata belo, hidung mancung dan bibir yang tipis. Rambutnya dipotong pendek seperti Christian Ronaldo. Satu kata untuknya, Tampan. Aku terus memandanginya sampai pria itu berdehem menyadarkanku untuk berhenti mengaguminya. Sontak Aku langsung memalingkan wajah ke arah lain.
“Gue memang tampan” ujarnya tiba-tiba membuat Aku salah tingkah.
"Hah?” jawabku refleks. Oh sial ternyata dia tahu kalau sejak tadi Aku memperhatikannya, mau di taruh dimana wajah ini. Pria itu hanya tersenyum seakan menertawakan kebodohanku. Wajahku mungkin sudah seperti kepiting rebus, memerah menahan rasa malu, ingin rasanya Aku loncat dari bus ini, tapi itu tidak mungkin Aku bisa terluka atau bahkan mati. Aku hanya bisa tertunduk malu sambil memperhatikan sepasang sepatu hitamku.
“Belakang Lo” kata Pria itu seakan memberi isyarat yang membuat Aku bingung. Aku mendongakkan kepala sehingga bertatapan langsung dengan mata hitam besarnya itu.
"Hah?" Lagi-lagi Aku hanya menjawab 'Hah' seperti orang bodoh. Jangan salah tingkah Kalista.
“Tas ransel Lo terbuka” katanya lagi sambil berusaha menutup resleting di bagian kecil tasku yang biasa kujadikan sebagai tempat menyimpan uang jajan dan handphone. Aku menengok ke belakang dan benar saja resletingnya terbuka.
“Seingat Gue sudah Gue tutup, tapi terima kasih” ucapku seraya tersenyum manis.
Pria itu mendekatkan kepalanya kepadaku dan membisikkan sesuatu yang sontak membuat Aku kaget dan sedikit menggeserkan kepala, “Lo hampir jadi korban copet”. Aku langsung menoleh ke belakang. Ada seorang laki-laki paruh baya berkulit hitam sedang menatapku tajam, seakan Aku adalah mangsa yang siap untuk diterkam kembali. Buru-buru Aku melepas tas ranselku dan memasangkan kembali di bagian depan, kupeluk erat seakan itu adalah harta yang paling berharga.
Sepanjang perjalanan bus, tidak ada yang berinisiatif untuk membuka obrolan. Dia sibuk dengan pikirannya dan Aku sibuk memikirkan wajah tampannya. Waktu terasa berjalan begitu cepat, tanpa kusadari Bus yang kutumpangi sudah berhenti di halte depan sekolah.
"Selalu waspada, dunia ini tidak hanya ditempati oleh orang-orang baik" nasihatnya begitu bus berhenti. Aku menoleh ke belakang, laki-laki paruh baya tadi merasa tersinggung. Dia buru-buru keluar bus tanpa menghiraukan beberapa orang yang dilaluinya.
“Turunlah” perintahnya sambil tersenyum manis. Senyumnya mampu menghipnotisku untuk tidak beranjak pergi. “Turunlah” ucapnya sekali lagi. Kali ini Aku berhasil kembali ke dunia nyata.
"Hah?”. Tiga kali Aku menjawab 'Hah' semakin membuatku terlihat bodoh. Aku mulai memperhatikan keadaan disekeliling dan ternyata bus sudah sampai di halte depan sekolah. Bagaimana dia tahu?
“Eh iya Aku turun disini, tapi bagaimana Lo tahu?” tanyaku penasaran berharap dia adalah seseorang yang diam-diam memperhatikanku, tapi harapanku pupus. Pria itu hanya menunjuk salah satu atribut yang menempel dibajuku. Belum sempat Aku menanyakan namanya, pintu bus akan segera tertutup. Aku buru-buru keluar. Pria itu meninggalkan tanda tanya besar dikepalaku. Who are you?
***
Masa putih abuku akan segera usai. Aku harus mempersiapkan diri menghadapi ujian nasional dan ujian masuk perguruan tinggi. Aku berjalan menyusuri lorong-lorong kelas, terlihat gelap, tapi memberikan kehangatan. Ini dia kelasku. Ruangan bercat putih ini telah dipenuhi oleh teman-teman seperjuanganku. Mereka sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, ada yang membaca buku pelajaran, ada yang sekedar mengobrol, ada juga yang sibuk dengan gadgetnya. Aku berjalan melewati beberapa meja dan meletakan tas di meja kedua yang terlihat masih kosong. Aku duduk sambil menopang dagu dengan kedua tangan. Otakku kembali memutar kejadian tiga hari lalu, kejadian di bus. Aku masih penasaran dengan pria itu. Siapa pria itu dan dimana Aku bisa menemuinya. Aku pikir ini bukan cinta pada pandangan pertama, tapi lebih ke rasa penasaran saja.
“Kalista!” teriak seorang wanita. Aku menoleh ke arah pintu, seorang wanita bertubuh sedikit gemuk tetapi tinggi sedang berdiri menatapku. Aku tersenyum kearahnya. Dia adalah Irvana, sahabat terbaikku sejak SMA. Entah mengapa semenjak awal SMA hingga sekarang Kami selalu ditempatkan di kelas yang sama. Irvana berlari menghampiriku seakan ada informasi penting yang hendak Ia sampaikan. Dia langsung duduk tanpa permisi. “Kalista, Lo harus temenin Gue. TITIK” sambungnya dengan napas terengah-engah.
“Atur napas dulu, Lo ceritakan pelan-pelan”. Irvana mengikuti saranku, dia beberapa kali mengambil dan mengeluarkan napas secara perlahan.
“Jadi begini, Lo tahukan sekarang ini Gue sedang pendekatan dengan Erfan?” Aku menjawab pertanyaan Irvana dengan sekali anggukan. “Nah, malam ini Erfan ngajakin Gue ke suatu tempat. Lo maukan temenin Gue? Gue masih canggung kalau harus pergi berdua” pinta Irvana dengan wajah dibuat sememelas mungkin.
“Ogah ah, Lo mau Gue jadi kambing congek?” tolakku tanpa basa-basi.
“Ngga kok. Erfan juga ngajak Raka. Jadi, kita seperti double date gitu. Dijamin seru!” jawab Irvana terdengar semeyakinkan mungkin sambil mengangkat kedua jempolnya.
“Ogah ah! Gak ada Raka aja Gue gak mau, apalagi ada Dia. Lo boleh minta tolong apapun, tapi tidak yang berhubungan dengan Raka” kataku memberi syarat. Raka adalah masa lalu yang harus dilupakan dan dianggap tidak pernah terjadi.
“Sorry ya Gue gak tahu Lo sebenci itu” sesal Irvana seraya mengusap pundakku. Aku hanya mengangguk mengerti bahwa Irvana tidak mengetahui alasan Aku tidak menyukai Raka. “By the way, tadi Lo bilang apapun asal tidak berhubungan dengan Raka, berarti nanti malam Lo mau temenin Gue ketemu Erfan, tanpa Raka?” tanya Irvana memojokkanku, membuatku menyesal mengatakan kata-kata itu. “Please” pintanya dengan penuh harap.
“Iya. Dimana ketemuannya?”
Coffe Shop daerah Kemang, tapi-” Belum sempat Irvana menjelaskan, Aku sudah memotong ucapannya.
“Na, Lo tahukan Gue phobia kopi, Gue takut minum kopi dan kadang Gue gak tahan dengan baunya.” Aku masih tidak habis pikir, mengapa Irvana berniat mengajakku ke Coffe Shop, padahal dia tahu Aku phobia kopi sejak kecil. Dulu saat Aku berumur tujuh tahun, Aku pernah meminum segelas besar kopi milik Ayah secara diam-diam. Saat itu perutku belum terisi apapun sehingga beberapa jam setelah minum kopi Aku mengalami gangguan pencernaan. Aku dilarikan ke rumah sakit terdekat. Sejak peristiwa itu, Bunda selalu melarangku untuk minum kopi. Larangan itu berubah menjadi rasa takut terhadap kopi. Terdengar aneh, tapi itulah yang terjadi.
“Iya Gue tahu Lis, tapi disana banyak makanan dan minuman selain kopi. Gue juga ingin Lo sembuh dari phobia aneh ini. Minimal Lo harus terbiasa dengan aromanya, setelah itu sedikit demi sedikit rasa takut Lo terhadap kopi mulai hilang dan Lo bisa mencicipi betapa enaknya kopi” Aku mencerna kata-kata yang diucapkan oleh Irvana. Semua yang diucapkannya benar.
“Gue juga ingin mencicipi kopi Na, but it so hard. Kopi seakan jadi musuh bagi Gue”
“Lo belum pernah coba Lis. Please trust me, I want to heal you
“Oke, tapi Lo harus bantu Gue sampai akhir. Janji?” Aku mengulurkan jari kelingking sebagai tanda persetujuan.
“Gue janji”. Irvana menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku. Semoga ini adalah awal yang baik untuk proses penyembuhanku.
***
Aku memandang langit sore dari jendela kamarku. Semburat jingga nampak indah menghiasi langit kota Jakarta. Malam ini Aku akan menemani Irvana untuk bertemu dengan Erfan. Mungkin tiga puluh menit lagi Irvana akan menjemputku. Aku harus segera bersiap-siap. Aku mengeluarkan satu per satu pakaian dari lemari, mencocokan antara pakaian yang satu dengan pakaian yang lainnya, tapi belum ada yang cocok. Tanpa kusadari, pakaian-pakaian itu telah menutupi sebagian ranjang tempat tidurku. Aku memandang frustasi. Sebenarnya apa yang kulakukan? Aku tidak pergi kencan, tapi mengapa sangat sulit untuk memilih pakaian yang cocok.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, Irvana langsung masuk tanpa permisi. Dia memperhatikan isi kamarku yang berantakan. Ia hanya menggeleng-geleng tak mengerti.
“Lo belum siap?” Aku menjawab pertanyaannya dengan sebuah senyuman kikuk. “Sebenarnya yang mau ngedate Gue atau Lo? Kok Lo rempong banget sih” gerutu Irvana. “Lo mau pakai pakaian seperti apa?” lanjut Irvana lagi berusaha membantu mencarikan pakaian yang cocok.
“Gue hanya ingin sesuatu yang sederhana”. Irvana mencari pakaian yang sesuai dengan permintaanku, Dia memilah-milah pakaian yang tergeletak di kasur. Pilihannya jatuh pada kaos hitam pendek dengan celana jeans putih.
“Coba ini” kata Irvana menyodorkan pakaian yang telah dipilihnya. Aku mengambil dan mencobanya di kamar mandi. Aku menghadap ke arah cermin, memutar tubuh ke kanan dan ke kiri. It’s not bad.
Aku mengedarkan pandangan mencari Irvana, tapi sosok yang kucari tidak ada. Kulangkahkan kaki menuju meja rias. Aku melihat bayanganku di dalam cermin, wajahku terlihat gugup dan takut. Ini adalah pertama kalinya Aku akan pergi ke coffe shop, tempat yang sangat tabu untuk kukunjungi. Pintu kamar terbuka, Irvana masuk ke dalam kamar dengan wajah yang murung. Aku tahu sesuatu telah terjadi.
“Kenapa Na? Apakah ada sesuatu dengan Erfan?” tanyaku langsung ke inti permasalahan. Irvana hanya mengangguk masih dengan wajah yang murung. “Ada apa dengan Erfan?” sambungku penasaran.
“Erfan gak jadi datang, nyokapnya masuk rumah sakit.” jelas Irvana dengan hati-hati.
“Serius Lo? Berarti kita gak jadi ke coffe shop?” Aku tahu ini tidak baik, tapi Aku merasa lega bahwa rencana ke coffe shop terancam batal.
“Karena Gue sudah ada disini dan Lo juga sudah cantik. Jadi, Kita tetap akan berangkat” terang Irvana dengan gaya bijaknya. Keputusan Irvana membuatku sedikit kecewa. Sesuatu yang kutakutkan akan terjadi.
***
Gemerlap Ibukota Jakarta selalu menarik perhatian setiap orang. Lampu yang bersinar beraneka warna mengalahkan sinar bintang dalam menghiasi gelapnya langit malam. Aku sudah berada di lantai atas sebuah coffe shop di daerah Kemang. Pengunjung coffe shop ini sebagian besar adalah anak-anak muda yang berniat menghabiskan malam minggu bersama keluarga, teman, ataupun pacar. Suasana coffe shop ini di desain menyerupai perkampungan koboi di Amerika dengan lampu-lampu yang bersinar redup.
Aku duduk sendiri di meja nomor 16 sebelah kanan dari pintu masuk. Seorang pelayan laki-laki berjalan kearahku dengan membawa makanan dan minuman. Aku hanya memesan milkshake lemon dan kentang goreng, sementara Irvana memesan kopi espresso macchiato dan spaghetti bolognaise. Jika kalian bertanya dimana Irvana, jawabannya Irvana sedang pergi ke toilet merapikan dandanannya.
Dari kejauhan Aku melihat Irvana berjalan kearahku. Dandannya sedikit lebih rapi dari sebelumnya.
“Lo pakai masker?” tanya Irvana begitu duduk dihadapanku.
“Gue belum terbiasa dengan aromanya. Itu pesanan Lo” kataku sambil menunjuk kopi dan spaghetti. Irvana memperhatikan pesanan kopinya dengan wajah berbinar-binar. Kopi espresso yang diberi susu berbuih dengan bentuk daun diatasnya. Tampilannya sangat elegan membuatku sedikit ingin mencicipinya.
“Kerenkan Lis. Ini buatan barista tampan itu” ucap Irvana seraya menunjuk salah satu pria yang sedang menuangkan kopi pesanan pelanggan. Mataku mengikuti telunjuk Irvana. Pria itu terasa familiar, Aku mengamati dengan lebih cermat.
“Pria di bus!” seruku kegirangan. Irvana menatapku dengan bingung. Aku memang belum menceritakan kejadian di bus padanya dan sepertinya tidak akan Aku ceritakan dalam waktu dekat ini.
“Lo kenal pria tampan itu?” tanya Irvana penasaran. Aku menjawabnya dengan gelengan kepala dan langsung menyeruput milkshake. Irvana mulai tampak curiga.
“Oke Gue tunggu ceritanya. Lo mau coba kopi Gue?” tawar Irvana sambil menyodorkan kopinya. Aku ragu, tapi jika tidak kucoba maka phobia ini tidak akan pernah sembuh. Kuberanikan diri mengambil gelas kopi. Tanganku sedikit gemetar, tapi untungnya Irvana membantuku menggenggam gelas tersebut. Aku mendekatkan gelas itu ke mulut dan satu teguk telah masuk ke dalam mulutku, tapi belum kutelan. Rasanya susah untuk kutelan. Aku tak tahan, Aku berdiri dan berlari menuju toilet. Irvana sangat khawatir, Ia mengikutiku di belakang. Aku memuntahkan cairan berwarna coklat itu.
“Tidak apa-apa Lis, ini permulaan. Sedikit demi sedikit Lo akan terbiasa”. Irvana mengusap pundakku. Aku tersenyum dan menatapnya di cermin. Irvana benar sedikit demi sedikit phobia ini akan hilang. Apalagi sekarang Aku punya alasan untuk kembali ke coffe shop ini, pria di bus adalah alasannya. Dia seorang barista dan agar bisa mengenalnya Aku tidak boleh takut lagi dengan kopi.
***
            Matahari tampak bersinar cerah, cahayanya masuk melalui celah-celah jendela kamarku. Ruangan berukuran 10 x 8 meter ini didominasi oleh warna ungu, warna kesukaanku. Aku berdiri di depan cermin memutar tubuhku ke kiri dan ke kanan memastikan bahwa penampilanku telah sempurna. Aku mengenakan dress putih selutut dan flat shoes cokelat. Rambut panjangku kubiarkan tergerai. Wajah kupoleskan sedikit make up agar tidak terlihat pucat. Oke semua telah siap. Aku mengambil tas kecil cokelat dan bergegas menuju coffe shop.  
Sudah dua bulan belakangan ini Aku rutin mendatangi coffe shop untuk bertemu barista tampan itu, walaupun Aku hanya memandanginya dari pojok ruangan. Biasanya Aku kesana setiap hari Sabtu atau Minggu. Perlu diingat, Aku belum pernah bertegur sapa dengannya. Entah dia menyadari kehadiranku atau tidak, atau bahkan dia tidak mengingatku sama sekali, Aku tidak tahu. Aku selalu berlatih untuk mengatakan ‘Hai’, tapi ketika sudah berada dihadapannya, kata-kata itu seolah hilang dari ingatanku.
Aku selalu memesan milkshake dan kentang goreng untuk menemaniku memandanginya. Terdengar aneh memang, Aku berada di coffe shop, tapi belum pernah memesan kopi sama sekali. Phobiaku belum terlihat ada kemajuan yang signifikan, hanya sekarang ini Aku mulai terbiasa dengan aroma kopi. Aku tidak lagi mengenakan masker ketika berada disana.
Aku sudah berada di coffe shop, suasana disana terlihat sepi, hanya ada beberapa pelanggan yang tengah asyik menyeruput kopinya. Aku sudah duduk di meja yang cukup strategis, dari sini Aku dapat melihatnya begitu cekatan dalam membuat kopi. Pesananku telah tiba, segelas milkshake strawberry dan kentang goreng.
Aku kembali memandanginya dan tanpa sengaja mata Kami saling bertemu. Aku langsung menundukan kepala sampai sebuah suara mengagetkanku.
“Boleh Gue duduk disini?” Aku mendongakkan kepala dan Barista tampan itu sudah berdiri dihadapanku. Suaraku tidak mampu keluar, Aku hanya mengangguk beberapa kali. Barista itu telah duduk dihadapanku. “Lo cewek yang di bus itukan?” Pertanyaan yang dilontarkannya membuatku senang, ini artinya dia masih mengingatku.
“Iya” Aku langsung menjawabnya lantang. Hening sejenak, tidak ada yang membuka obrolan yang membuatku bertambah canggung. “Lo barista hebat” ucapku sambil mengacungkan dua jempol. Entah keberanian dari mana sehingga Aku dapat mengatakan hal itu.
“Thanks, tapi selama dua bulan ini Gue belum pernah lihat Lo pesan kopi” ujarnya tak mengerti. Jadi, selama ini dia juga memperhatikanku? Benar-benar diluar dugaan.
“Gue phobia kopi” jawabku singkat.
“Kenapa bisa?” tanyanya penasaran. Aku menceritakan kejadian saat kecil dulu. Dia mendengarkan dengan baik dan sesekali menganggukan kepala. “Sumpah Lo harus coba kopi. Kopi bukan hanya sekedar bubuk cokelat yang diseduh dengan air panas, tapi kopi adalah karya seni yang bercita rasa tinggi” jelas Barista tampan itu dengan semangat yang menggebu-gebu, terlihat sekali bahwa dia bukan hanya sekedar penikmat kopi, tapi juga pecinta kopi.
“Gue tahu. Oleh karena itu, Gue datang ke sini untuk menghilangkan phobia aneh ini” jawabku sedikit berbohong mengenai tujuan utamaku yang sebenarnya.
“Tunggu disini, Lo harus coba kopi buatan Gue”. Belum sempat Aku menjawab, dia sudah pergi ke belakang meja. Sesekali dia menolehkan kepala kearahku.
Tak berapa lama Dia datang dengan membawa secangkir kopi dan meletakkannya dihadapanku. Aku terpana dibuatnya, Dia menggambar wajahku di atas permukaan kopi.
“Wow it’s so beautiful” ujarku seraya mengambil smartphone dari dalam tas dan memotretnya beberapa kali. Aku memandangi hasil karyanya dengan takjub.
“Thanks. Gue buat ini bukan untuk dipandangi, tapi untuk diminum” Aku hanya tersenyum dan rasa takut itu kembali datang.
“Kadang cairan kopinya susah Gue telan” ucapku jujur berharap Dia tidak memaksaku untuk meminum kopi ini.
“Lo pasti bisa!” ujarnya dengan penuh semangat. Aku melihat matanya, ada tekad untuk membuatku sembuh. Aku memberanikan diri mengambil cangkir kopi itu dan meneguknya sedikit. Cairan cokelat itu sudah berhasil lolos dari kerongkonganku. Rasanya sedikit pahit, tapi kemudian berganti dengan rasa manis yang dominan. Aku kembali meneguknya. Tidak ada penolakkan dari anggota tubuhku. Apakah phobiaku telah hilang?
“Lo berhasil meneguknya!”
“Apakah phobia Gue telah hilang?” tanyaku meyakinkan bahwa Aku benar-benar telah sembuh.
“Ya” jawabnya mantap. Aku terlalu gembira, sehingga tanpa kusadari tanganku memegang tangannya.
“Sorry” kataku seraya melepaskannya. Suasana kembali canggung, tapi itu hanya sesaat karena Dia mampu mengalihkan topik pembicaraan..
No problem. By the way Kita belum berkenalan, Nama Gue Samuel, biasa dipanggil Sam” Samuel mengulurkan tangan kanannya.
“Gue Kalista” ucapku sambil menjabat tangannya. Setelah dua bulan berlalu, akhirnya Aku bisa tahu siapa dia dan dimana Aku bisa menemuinya.
***
Deburan ombak terdengar bergemuruh diiringi semilir angin yang membelai rambutku. Aku dan Samuel berada di Pulau Bidadari. Pulau yang terkenal dengan pasir putih dan laut birunya yang jernih. Hari ini tepat satu bulan Kami berpacaran, tidak ada perayaan yang istimewa cukup berwisata bersama dan menghabiskan waktu berdua. Selama ini Samuel tidak hanya membantuku menghilangkan rasa takut terhadap kopi, tapi Dia juga mengubahku menjadi seorang penikmat kopi.
Samuel telah mampu merubah pola pikirku terhadap kopi. Sekarang, bagiku kopi bukan hanya minuman di waktu senggang, tapi lebih dari itu kopi adalah teman hidupku untuk mengenalnya.



-TAMAT-

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LATIHAN EKONOMI

Soal 1 Sebutkan sumber penerimaan pemerintah pusat! Penerimaan Perpajakan, semua penerimaan yang terdiri dari pajak dalam negeri dan perpajakan internasional, misalnya pajak penghasilan migas, pajak pertambahan nilai, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Pajak perdagangan internasional.   Hibah, semua pendapatan negara yang berasal dari sumbangan swasta dalam negeri dan sumbangan luar swasta serta pemerintah luar negeri termasuk lembaga internasional. Soal 2   Table indeks harga konsumen (IHK) :  Year Consumers Price Index 2006 95% 2007 99% 2008 104% 2009 110% Berdasarkan tabel di atas, tingkat inflasi tahun 2008 dengan pembulatan ke atas adalah ... Laju Inflasi tahun 2008 = {(IHK2008- IHK2007)/ IHK2007} x 100% = {(104%-99%)/99%} x 100% = 5,051% dibulatkan ke atas menjadi 6% Soal 3 Apabila uang yang beredar Rp 20.000.000,00 kecepatan peredarannya 10 kali, jumlah barang yang diperdagangkan 6.000 unit, maka

PENGALAMAN TES KERJA

Hai reader 🖐🖐🖐 Kali ini Gue mau berbagi sedikit pengalaman tes kerja di Jasa Raharja. Sebelum ikut tes ini, Gue pernah coba tes di beberapa perusahaan lain, tetapi mungkin karena belum berjodoh, semua tes itu selalu berujung "Maaf Anda tidak lolos ke tahap selanjutnya" 😂😂😂 Oke langsung aja check this out Waktu itu Gue dapat informasi lowongan kerja Jasa Raharja dari Grup kelas. Pendaftarannya sekitar bulan Agustus. Setelah Gue daftar, kurang dari seminggu pengumumannya keluar. Jreng jreng alhamdulilah Gue lolos tahap 1. Seleksi Tahap 2 dilakukan weekend. Dengan membawa persyaratan yang sudah ditentukan seperti cv, fotokopi ijazah, transkip, ktp dan lain-lain Gue berangkat seorang diri dari Tangerang ke Salemba UI.  Sesampainya disana, ternyata sudah banyak peserta yang datang, Gue baris mengikuti antrian. Waktu terus berjalan dan tibalah giliran Gue. Berkas persyaratan diserahkan dan mulai diukur tinggi badan dan ditimbang berat badan. Alhamdulilah tinggi dan b

SEJARAH DESA PASAWAHAN

BABAD PASAWAHAN             Dina abad 15 , Pandita Pundamaya tatapa di panjakroma (Batu Pangarangan) . Tujuan Anjeunna tatapa didinya pikeun nguji ajian jaya sampurna . Tebihna tempat tatapa jeung desa kasabeulahan kidul kurang leuwih 5 Km .             Saentos Anjeunna tatapa , Pandita Pundamaya ngahampangan diluhur batu . Cai kiihna te sangaja ka inum ku Maung jeung Manjangan .Kusabab eta maung jeung manjangan tului reuneuh . Hubungan kulawarga antara Maung jeung Manjangan pohara dekeut .             Hiji mangsa , Maung jeung Manjangan ngababarkeun manusa lalaki anu kasep di Gunung Layang . Saentos manusa lalaki eta umurna tujuh taun , Maung jeung Manjangan ngaleungit tapi sateuacanna ngaleungit aranjeunna mere pepejeuh pikeun anakna .             “ Budak Putu di Pasabinan , amun Anjeun kapendak Maung Bodas disakuriling Pasabinan ulah diganggu tapi sembah   sabab anjeunna anu ngajaga Budak Putu “             Saentos Manjangan mere pepejeuh , loba semah ti daerah lain a