PHOBIA KOPI
Karya:
Siti Nur Apriyani
Pagi
ini langit begitu biru dan awan begitu putih, tampak serasi. Aku terus
memandang dan mengaguminya sambil sesekali menyeruput segelas milkshake vanila
yang hampir habis. Lima belas menit sudah Aku menunggu disini, tapi bus yang
kutunggu tak kunjung datang. Untuk menghilangkan rasa bosanku, Aku berselancar
di dunia maya membuka media social
yang sudah menjadi suatu kebiasaan. Aku membuka satu per satu, memeriksa
pemberitahuan yang masuk, tapi isi pemberitahuannya sama saja, tidak ada yang
menarik. Aku membuka email hanya ada beberapa email masuk, semuanya mengenai
tugas sekolah. Aku mengangkat kepala dan ada seorang pria berdiri
membelakangiku. Aku terlalu larut dengan gadgetku sehingga tidak menyadari
kedatangannya. Sekilas Aku memperhatikan tampilan belakangnya. Pria itu
mengenakan jaket hitam dan celana jeans. Tangan kanannya membawa kantung
berwarna coklat.
Bus
yang kutunggu telah tiba. Aku berdiri dibelakang pria asing itu. Tubuhnya yang
tinggi dan besar menutupi seluruh tubuhku. Pria itu melangkah menuju pintu bus
dan Aku mengikutinya di belakang.
Pagi
ini semua bangku di dalam bus sudah terisi penuh. Banyak orang berdiri
berdesak-desakkan termasuk Aku dan pria tadi. Aku berdiri tepat disampingnya
sambil memegang pegangan tangan bus. Dengan jarak sedekat ini, Aku dapat
menghirup aroma kayu-kayuan yang sangat menggelitik hidungku. Secara diam-diam
Aku mengamatinya, kulit wajah putih dan bersih, alis tebal, bulu mata panjang, mata
belo, hidung mancung dan bibir yang tipis. Rambutnya dipotong pendek seperti
Christian Ronaldo. Satu kata untuknya, Tampan. Aku terus memandanginya sampai
pria itu berdehem menyadarkanku untuk berhenti mengaguminya. Sontak Aku
langsung memalingkan wajah ke arah lain.
“Gue
memang tampan” ujarnya tiba-tiba membuat Aku salah tingkah.
"Hah?”
jawabku refleks. Oh sial ternyata dia tahu kalau sejak tadi Aku memperhatikannya,
mau di taruh dimana wajah ini. Pria itu hanya tersenyum seakan menertawakan
kebodohanku. Wajahku mungkin sudah seperti kepiting rebus, memerah menahan rasa
malu, ingin rasanya Aku loncat dari bus ini, tapi itu tidak mungkin Aku bisa
terluka atau bahkan mati. Aku hanya bisa tertunduk malu sambil memperhatikan
sepasang sepatu hitamku.
“Belakang
Lo” kata Pria itu seakan memberi isyarat yang membuat Aku bingung. Aku
mendongakkan kepala sehingga bertatapan langsung dengan mata hitam besarnya
itu.
"Hah?"
Lagi-lagi Aku hanya menjawab 'Hah' seperti orang bodoh. Jangan salah tingkah
Kalista.
“Tas
ransel Lo terbuka” katanya lagi sambil berusaha menutup resleting di bagian
kecil tasku yang biasa kujadikan sebagai tempat menyimpan uang jajan dan
handphone. Aku menengok ke belakang dan benar saja resletingnya terbuka.
“Seingat
Gue sudah Gue tutup, tapi terima kasih” ucapku seraya tersenyum manis.
Pria
itu mendekatkan kepalanya kepadaku dan membisikkan sesuatu yang sontak membuat
Aku kaget dan sedikit menggeserkan kepala, “Lo hampir jadi korban copet”. Aku
langsung menoleh ke belakang. Ada seorang laki-laki paruh baya berkulit hitam
sedang menatapku tajam, seakan Aku adalah mangsa yang siap untuk diterkam
kembali. Buru-buru Aku melepas tas ranselku dan memasangkan kembali di bagian
depan, kupeluk erat seakan itu adalah harta yang paling berharga.
Sepanjang
perjalanan bus, tidak ada yang berinisiatif untuk membuka obrolan. Dia sibuk
dengan pikirannya dan Aku sibuk memikirkan wajah tampannya. Waktu terasa
berjalan begitu cepat, tanpa kusadari Bus yang kutumpangi sudah berhenti di
halte depan sekolah.
"Selalu waspada, dunia ini tidak
hanya ditempati oleh orang-orang baik" nasihatnya begitu bus berhenti. Aku
menoleh ke belakang, laki-laki paruh baya tadi merasa tersinggung. Dia
buru-buru keluar bus tanpa menghiraukan beberapa orang yang dilaluinya.
“Turunlah”
perintahnya sambil tersenyum manis. Senyumnya mampu menghipnotisku untuk tidak
beranjak pergi. “Turunlah” ucapnya sekali lagi. Kali ini Aku berhasil kembali
ke dunia nyata.
"Hah?”.
Tiga kali Aku menjawab 'Hah' semakin membuatku terlihat bodoh. Aku mulai
memperhatikan keadaan disekeliling dan ternyata bus sudah sampai di halte depan
sekolah. Bagaimana dia tahu?
“Eh
iya Aku turun disini, tapi bagaimana Lo tahu?” tanyaku penasaran berharap dia
adalah seseorang yang diam-diam memperhatikanku, tapi harapanku pupus. Pria itu
hanya menunjuk salah satu atribut yang menempel dibajuku. Belum sempat Aku
menanyakan namanya, pintu bus akan segera tertutup. Aku buru-buru keluar. Pria
itu meninggalkan tanda tanya besar dikepalaku. Who are you?
***
Masa
putih abuku akan segera usai. Aku harus mempersiapkan diri menghadapi ujian
nasional dan ujian masuk perguruan tinggi. Aku berjalan menyusuri lorong-lorong
kelas, terlihat gelap, tapi memberikan kehangatan. Ini dia kelasku.
Ruangan bercat putih ini telah dipenuhi oleh teman-teman seperjuanganku. Mereka
sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, ada yang membaca buku pelajaran, ada
yang sekedar mengobrol, ada juga yang sibuk dengan gadgetnya. Aku berjalan
melewati beberapa meja dan meletakan tas di meja kedua yang terlihat masih kosong.
Aku duduk sambil menopang dagu dengan kedua tangan. Otakku kembali memutar
kejadian tiga hari lalu, kejadian di bus. Aku masih penasaran dengan pria itu.
Siapa pria itu dan dimana Aku bisa menemuinya. Aku pikir ini bukan cinta pada
pandangan pertama, tapi lebih ke rasa penasaran saja.
“Kalista!”
teriak seorang wanita. Aku menoleh ke arah pintu, seorang wanita bertubuh
sedikit gemuk tetapi tinggi sedang berdiri menatapku. Aku tersenyum kearahnya. Dia
adalah Irvana, sahabat terbaikku sejak SMA. Entah mengapa semenjak awal SMA
hingga sekarang Kami selalu ditempatkan di kelas yang sama. Irvana berlari
menghampiriku seakan ada informasi penting yang hendak Ia sampaikan. Dia
langsung duduk tanpa permisi. “Kalista, Lo harus temenin Gue. TITIK” sambungnya
dengan napas terengah-engah.
“Atur
napas dulu, Lo ceritakan pelan-pelan”. Irvana mengikuti saranku, dia beberapa
kali mengambil dan mengeluarkan napas secara perlahan.
“Jadi
begini, Lo tahukan sekarang ini Gue sedang pendekatan dengan Erfan?” Aku
menjawab pertanyaan Irvana dengan sekali anggukan. “Nah, malam ini Erfan
ngajakin Gue ke suatu tempat. Lo maukan temenin Gue? Gue masih canggung kalau
harus pergi berdua” pinta Irvana dengan wajah dibuat sememelas mungkin.
“Ogah
ah, Lo mau Gue jadi kambing congek?” tolakku tanpa basa-basi.
“Ngga
kok. Erfan juga ngajak Raka. Jadi, kita seperti double date gitu. Dijamin seru!” jawab Irvana terdengar
semeyakinkan mungkin sambil mengangkat kedua jempolnya.
“Ogah
ah! Gak ada Raka aja Gue gak mau, apalagi ada Dia. Lo boleh minta tolong
apapun, tapi tidak yang berhubungan dengan Raka” kataku memberi syarat. Raka
adalah masa lalu yang harus dilupakan dan dianggap tidak pernah terjadi.
“Sorry
ya Gue gak tahu Lo sebenci itu” sesal Irvana seraya mengusap pundakku. Aku
hanya mengangguk mengerti bahwa Irvana tidak mengetahui alasan Aku tidak
menyukai Raka. “By the way, tadi Lo
bilang apapun asal tidak berhubungan dengan Raka, berarti nanti malam Lo mau
temenin Gue ketemu Erfan, tanpa Raka?” tanya Irvana memojokkanku, membuatku
menyesal mengatakan kata-kata itu. “Please”
pintanya dengan penuh harap.
“Iya.
Dimana ketemuannya?”
“Coffe Shop daerah Kemang, tapi-” Belum
sempat Irvana menjelaskan, Aku sudah memotong ucapannya.
“Na,
Lo tahukan Gue phobia kopi, Gue takut minum kopi dan kadang Gue gak tahan
dengan baunya.” Aku masih tidak habis pikir, mengapa Irvana berniat mengajakku
ke Coffe Shop, padahal dia tahu Aku
phobia kopi sejak kecil. Dulu saat Aku berumur tujuh tahun, Aku pernah meminum
segelas besar kopi milik Ayah secara diam-diam. Saat itu perutku belum terisi
apapun sehingga beberapa jam setelah minum kopi Aku mengalami gangguan
pencernaan. Aku dilarikan ke rumah sakit terdekat. Sejak peristiwa itu, Bunda
selalu melarangku untuk minum kopi. Larangan itu berubah menjadi rasa
takut terhadap kopi. Terdengar aneh, tapi itulah yang terjadi.
“Iya
Gue tahu Lis, tapi disana banyak makanan dan minuman selain kopi. Gue juga
ingin Lo sembuh dari phobia aneh ini. Minimal Lo harus terbiasa dengan
aromanya, setelah itu sedikit demi sedikit rasa takut Lo terhadap kopi mulai
hilang dan Lo bisa mencicipi betapa enaknya kopi” Aku mencerna kata-kata yang
diucapkan oleh Irvana. Semua yang diucapkannya benar.
“Gue
juga ingin mencicipi kopi Na, but it so hard. Kopi seakan jadi musuh bagi Gue”
“Lo
belum pernah coba Lis. Please trust me, I
want to heal you”
“Oke,
tapi Lo harus bantu Gue sampai akhir. Janji?” Aku mengulurkan jari kelingking sebagai
tanda persetujuan.
“Gue
janji”. Irvana menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku. Semoga
ini adalah awal yang baik untuk proses penyembuhanku.
***
Aku memandang langit sore dari
jendela kamarku. Semburat jingga nampak indah menghiasi langit kota Jakarta.
Malam ini Aku akan menemani Irvana untuk bertemu dengan Erfan. Mungkin tiga
puluh menit lagi Irvana akan menjemputku. Aku harus segera bersiap-siap. Aku
mengeluarkan satu per satu pakaian dari lemari, mencocokan antara pakaian yang
satu dengan pakaian yang lainnya, tapi belum ada yang cocok. Tanpa kusadari,
pakaian-pakaian itu telah menutupi sebagian ranjang tempat tidurku. Aku
memandang frustasi. Sebenarnya apa yang kulakukan? Aku tidak pergi kencan, tapi
mengapa sangat sulit untuk memilih pakaian yang cocok.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka,
Irvana langsung masuk tanpa permisi. Dia memperhatikan isi kamarku yang berantakan.
Ia hanya menggeleng-geleng tak mengerti.
“Lo belum siap?” Aku menjawab
pertanyaannya dengan sebuah senyuman kikuk. “Sebenarnya yang mau ngedate Gue
atau Lo? Kok Lo rempong banget sih” gerutu Irvana. “Lo mau pakai pakaian
seperti apa?” lanjut Irvana lagi berusaha membantu mencarikan pakaian yang
cocok.
“Gue hanya ingin sesuatu yang
sederhana”. Irvana mencari pakaian yang sesuai dengan permintaanku, Dia
memilah-milah pakaian yang tergeletak di kasur. Pilihannya jatuh pada kaos
hitam pendek dengan celana jeans putih.
“Coba ini” kata Irvana
menyodorkan pakaian yang telah dipilihnya. Aku mengambil dan mencobanya di
kamar mandi. Aku menghadap ke arah cermin, memutar tubuh ke kanan dan ke kiri. It’s not bad.
Aku mengedarkan pandangan mencari
Irvana, tapi sosok yang kucari tidak ada. Kulangkahkan kaki menuju meja rias.
Aku melihat bayanganku di dalam cermin, wajahku
terlihat gugup dan takut. Ini adalah pertama kalinya Aku akan pergi ke coffe shop, tempat yang sangat tabu
untuk kukunjungi. Pintu kamar terbuka, Irvana masuk ke dalam kamar dengan wajah
yang murung. Aku tahu sesuatu telah terjadi.
“Kenapa
Na? Apakah ada sesuatu dengan Erfan?” tanyaku langsung ke inti permasalahan.
Irvana hanya mengangguk masih dengan wajah yang murung. “Ada apa dengan Erfan?”
sambungku penasaran.
“Erfan gak jadi datang, nyokapnya
masuk rumah sakit.” jelas Irvana dengan hati-hati.
“Serius Lo? Berarti kita gak jadi
ke coffe shop?” Aku tahu ini tidak
baik, tapi Aku merasa lega bahwa rencana ke coffe
shop terancam batal.
“Karena Gue sudah ada disini dan
Lo juga sudah cantik. Jadi, Kita tetap akan berangkat” terang Irvana dengan
gaya bijaknya. Keputusan Irvana membuatku sedikit kecewa. Sesuatu yang
kutakutkan akan terjadi.
***
Gemerlap
Ibukota Jakarta selalu menarik perhatian setiap orang. Lampu yang bersinar
beraneka warna mengalahkan sinar bintang dalam menghiasi gelapnya langit malam.
Aku sudah berada di lantai atas sebuah coffe
shop di daerah Kemang. Pengunjung coffe
shop ini sebagian besar adalah anak-anak muda yang berniat menghabiskan
malam minggu bersama keluarga, teman, ataupun pacar. Suasana coffe shop ini di desain menyerupai perkampungan
koboi di Amerika dengan lampu-lampu yang bersinar redup.
Aku
duduk sendiri di meja nomor 16 sebelah kanan dari pintu masuk. Seorang pelayan
laki-laki berjalan kearahku dengan membawa makanan dan minuman. Aku hanya memesan
milkshake lemon dan kentang goreng, sementara Irvana memesan kopi espresso macchiato dan spaghetti bolognaise. Jika kalian
bertanya dimana Irvana, jawabannya Irvana sedang pergi ke toilet merapikan
dandanannya.
Dari
kejauhan Aku melihat Irvana berjalan kearahku. Dandannya sedikit lebih rapi
dari sebelumnya.
“Lo
pakai masker?” tanya Irvana begitu duduk dihadapanku.
“Gue
belum terbiasa dengan aromanya. Itu pesanan Lo” kataku sambil menunjuk kopi dan
spaghetti. Irvana memperhatikan pesanan kopinya dengan wajah berbinar-binar.
Kopi espresso yang diberi susu berbuih dengan bentuk daun diatasnya.
Tampilannya sangat elegan membuatku sedikit ingin mencicipinya.
“Kerenkan
Lis. Ini buatan barista tampan itu” ucap Irvana seraya menunjuk salah satu pria
yang sedang menuangkan kopi pesanan pelanggan. Mataku mengikuti telunjuk
Irvana. Pria itu terasa familiar, Aku
mengamati dengan lebih cermat.
“Pria
di bus!” seruku kegirangan. Irvana menatapku dengan bingung. Aku memang belum
menceritakan kejadian di bus padanya dan sepertinya tidak akan Aku ceritakan
dalam waktu dekat ini.
“Lo
kenal pria tampan itu?” tanya Irvana penasaran. Aku menjawabnya dengan gelengan
kepala dan langsung menyeruput milkshake. Irvana mulai tampak curiga.
“Oke
Gue tunggu ceritanya. Lo mau coba kopi Gue?” tawar Irvana sambil menyodorkan
kopinya. Aku ragu, tapi jika tidak kucoba maka phobia ini tidak akan pernah
sembuh. Kuberanikan diri mengambil gelas kopi. Tanganku sedikit gemetar, tapi
untungnya Irvana membantuku menggenggam gelas tersebut. Aku mendekatkan gelas
itu ke mulut dan satu teguk telah masuk ke dalam mulutku, tapi belum kutelan.
Rasanya susah untuk kutelan. Aku tak tahan, Aku berdiri dan berlari menuju
toilet. Irvana sangat khawatir, Ia mengikutiku di belakang. Aku memuntahkan
cairan berwarna coklat itu.
“Tidak
apa-apa Lis, ini permulaan. Sedikit demi sedikit Lo akan terbiasa”. Irvana
mengusap pundakku. Aku tersenyum dan menatapnya di cermin. Irvana benar sedikit
demi sedikit phobia ini akan hilang. Apalagi sekarang Aku punya alasan untuk
kembali ke coffe shop ini, pria di
bus adalah alasannya. Dia seorang barista dan agar bisa mengenalnya Aku tidak
boleh takut lagi dengan kopi.
***
Matahari tampak bersinar cerah,
cahayanya masuk melalui celah-celah jendela kamarku. Ruangan berukuran 10 x 8
meter ini didominasi oleh warna ungu, warna kesukaanku. Aku berdiri di depan
cermin memutar tubuhku ke kiri dan ke kanan memastikan bahwa penampilanku telah
sempurna. Aku mengenakan dress putih selutut dan flat shoes cokelat. Rambut panjangku kubiarkan tergerai. Wajah
kupoleskan sedikit make up agar tidak terlihat pucat. Oke semua telah siap. Aku
mengambil tas kecil cokelat dan bergegas menuju coffe shop.
Sudah
dua bulan belakangan ini Aku rutin mendatangi coffe shop untuk bertemu barista tampan itu, walaupun Aku hanya memandanginya
dari pojok ruangan. Biasanya Aku kesana setiap hari Sabtu atau Minggu. Perlu
diingat, Aku belum pernah bertegur sapa dengannya. Entah dia menyadari
kehadiranku atau tidak, atau bahkan dia tidak mengingatku sama sekali, Aku
tidak tahu. Aku selalu berlatih untuk mengatakan ‘Hai’, tapi ketika sudah
berada dihadapannya, kata-kata itu seolah hilang dari ingatanku.
Aku
selalu memesan milkshake dan kentang goreng untuk menemaniku memandanginya.
Terdengar aneh memang, Aku berada di coffe
shop, tapi belum pernah memesan kopi sama sekali. Phobiaku belum terlihat
ada kemajuan yang signifikan, hanya sekarang ini Aku mulai terbiasa dengan
aroma kopi. Aku tidak lagi mengenakan masker ketika berada disana.
Aku
sudah berada di coffe shop, suasana
disana terlihat sepi, hanya ada beberapa pelanggan yang tengah asyik menyeruput
kopinya. Aku sudah duduk di meja yang cukup strategis, dari sini Aku dapat
melihatnya begitu cekatan dalam membuat kopi. Pesananku telah tiba, segelas
milkshake strawberry dan kentang goreng.
Aku
kembali memandanginya dan tanpa sengaja mata Kami saling bertemu. Aku langsung
menundukan kepala sampai sebuah suara mengagetkanku.
“Boleh
Gue duduk disini?” Aku mendongakkan kepala dan Barista tampan itu sudah berdiri
dihadapanku. Suaraku tidak mampu keluar, Aku hanya mengangguk beberapa kali.
Barista itu telah duduk dihadapanku. “Lo cewek yang di bus itukan?” Pertanyaan
yang dilontarkannya membuatku senang, ini artinya dia masih mengingatku.
“Iya”
Aku langsung menjawabnya lantang. Hening sejenak, tidak ada yang membuka
obrolan yang membuatku bertambah canggung. “Lo barista hebat” ucapku sambil
mengacungkan dua jempol. Entah keberanian dari mana sehingga Aku dapat
mengatakan hal itu.
“Thanks,
tapi selama dua bulan ini Gue belum pernah lihat Lo pesan kopi” ujarnya tak
mengerti. Jadi, selama ini dia juga memperhatikanku? Benar-benar diluar dugaan.
“Gue
phobia kopi” jawabku singkat.
“Kenapa
bisa?” tanyanya penasaran. Aku menceritakan kejadian saat kecil dulu. Dia
mendengarkan dengan baik dan sesekali menganggukan kepala. “Sumpah Lo harus
coba kopi. Kopi bukan hanya sekedar bubuk cokelat yang diseduh dengan air
panas, tapi kopi adalah karya seni yang bercita rasa tinggi” jelas Barista
tampan itu dengan semangat yang menggebu-gebu, terlihat sekali bahwa dia bukan
hanya sekedar penikmat kopi, tapi juga pecinta kopi.
“Gue
tahu. Oleh karena itu, Gue datang ke sini untuk menghilangkan phobia aneh ini”
jawabku sedikit berbohong mengenai tujuan utamaku yang sebenarnya.
“Tunggu
disini, Lo harus coba kopi buatan Gue”. Belum sempat Aku menjawab, dia sudah
pergi ke belakang meja. Sesekali dia menolehkan kepala kearahku.
Tak
berapa lama Dia datang dengan membawa secangkir kopi dan meletakkannya
dihadapanku. Aku terpana dibuatnya, Dia menggambar wajahku di atas permukaan
kopi.
“Wow
it’s so beautiful” ujarku seraya mengambil smartphone
dari dalam tas dan memotretnya beberapa kali. Aku memandangi hasil karyanya
dengan takjub.
“Thanks.
Gue buat ini bukan untuk dipandangi, tapi untuk diminum” Aku hanya tersenyum dan
rasa takut itu kembali datang.
“Kadang
cairan kopinya susah Gue telan” ucapku jujur berharap Dia tidak memaksaku untuk
meminum kopi ini.
“Lo
pasti bisa!” ujarnya dengan penuh semangat. Aku melihat matanya, ada tekad
untuk membuatku sembuh. Aku memberanikan diri mengambil cangkir kopi itu dan
meneguknya sedikit. Cairan cokelat itu sudah berhasil lolos dari
kerongkonganku. Rasanya sedikit pahit, tapi kemudian berganti dengan rasa manis
yang dominan. Aku kembali meneguknya. Tidak ada penolakkan dari anggota
tubuhku. Apakah phobiaku telah hilang?
“Lo
berhasil meneguknya!”
“Apakah
phobia Gue telah hilang?” tanyaku meyakinkan bahwa Aku benar-benar telah
sembuh.
“Ya”
jawabnya mantap. Aku terlalu gembira, sehingga tanpa kusadari tanganku memegang
tangannya.
“Sorry”
kataku seraya melepaskannya. Suasana kembali canggung, tapi itu hanya sesaat
karena Dia mampu mengalihkan topik pembicaraan..
“No problem. By the way Kita belum berkenalan, Nama Gue Samuel, biasa dipanggil
Sam” Samuel mengulurkan tangan kanannya.
“Gue
Kalista” ucapku sambil menjabat tangannya. Setelah dua bulan berlalu, akhirnya
Aku bisa tahu siapa dia dan dimana Aku bisa menemuinya.
***
Deburan
ombak terdengar bergemuruh diiringi semilir angin yang membelai rambutku. Aku
dan Samuel berada di Pulau Bidadari. Pulau yang terkenal dengan pasir putih dan
laut birunya yang jernih. Hari ini tepat satu bulan Kami berpacaran, tidak ada
perayaan yang istimewa cukup berwisata bersama dan menghabiskan waktu berdua.
Selama ini Samuel tidak hanya membantuku menghilangkan rasa takut terhadap
kopi, tapi Dia juga mengubahku menjadi seorang penikmat kopi.
Samuel
telah mampu merubah pola pikirku terhadap kopi. Sekarang, bagiku kopi bukan
hanya minuman di waktu senggang, tapi lebih dari itu kopi adalah teman hidupku
untuk mengenalnya.
-TAMAT-
Komentar
Posting Komentar